oleh:
Titiek Kartika Hendrastiti
Kita sering dikejutkan dengan berita kejahatan seksual terhadap anak.Apalagi pelakunya tidak selalu orang asing, sebagian besar pelaku adalah orang-orang yang dikenal anak, disayangi anak, dan dipercaya oleh anak sebagai pelindung nya.Sudah banyak tulisan dan forum diskusi yang membahas isu kejahatan seksual terhadap anak ini.Kupasan di media visual bahkan mem blow-up beberapa hari paska tragedi kejahatan seksual terjadi; salag satu tujuan nya adalah terus mengingatkan kepada masyarakat, dan memberi alarm betapa nista dan kejamnya perlakuan pelaku terhadap korban.Tetapi, yang mengherankan, satu persatu muncul berita kejahatan seksual lagi setiap hari, tanpa ampun.
Bengkulu, sebagai sebuah propinsi yang relatif kecil dari segi wilayah dan populasinya, adalah salah satu wilayah administratif dengan persentase kejahatan seksual yang tinggi.Tahun 2015, bahkan, posisi kasus incest tertinggi di Indonesia. Kasus memprihatinkan yang lain adalah kawin anak, dan perkosaan berkelompok.
Mengapa anak menjadi target kejahatan seksual. Mengapa orang-orang dewasa, termasuk yang punya hubungan darahmembalas kekacauan hidupnya kepada anak ? . Artikel ini bertujuan untuk membagi telaah antropologi dan sosiologi yang bias membantu memahami kejahatan seksual sebagai bagian dampak fatal dari ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki – interseksional dengan usia, kelas, pendidikan, agama, etnis, dan lain-lain.
Di dalam masyarakat berlaku pemaksaan nilaitentangmaskulinitas dan feminitas. Keduanya diyakini oleh masyarakat dan berlangsung seolah alami, natural, rasional, dan membaku.Dalam cara pandang pilihan rasional, pembentukan relasi sosial tersebut dipakai sebagai dasar pemikiran yang kuat dan rasional.Serta membuktikan tujuan terdalamnya –sehingga nilai itulah yang meningkatkan martabat kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Ada landasan filosofis dan sosiologis yang perlu dipikirkan untuk menjawab pertanyaan di atas.Ada sudut pandang dan realita tentang ketimpangan sosial, budaya dan adat antara perempuan dan laki-laki.Penelusuran ontologi ketimpangan antar jenis kelamin yang mewarnai ketimpangan gender dalam atribut, perilaku dan penempatan sosial.
Pemuliaan Patriarkhi memberi ekses dalam peradaban.Catatan mendokumentasikan asal muasal penindasan terhadap perempuan pada manuskrip klasik karangan Engels yang ditulis tahun 1884 (diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia tahun 2011). Secara antropologis, berdasar tesis Morgan yang diselesaikan oleh Engels, sejarah peradaban menunjukkan bahwa gen ibu – klan berkembang lebih dulu dibanding keluarga ayah. Pemikiran Engels ini termasuk materialisme historis menjelaskan sejarah manusia yang mendapat reaksi cukup keras.Hasilnya, teori Engels mengalami kemunduran, dan kaum antropolog lebih memilih pendekatan evolusinya Darwin.
Perkembangan sosial sejarah manusia itu terbagi atas: jaman kebuasan, jaman barbarisme, dan jaman peradaban. Mereka menemukan bahwa pada masa perkembangan peradaban, di mana manusia beradab dibentuk atas dasar kepemilikan pribadi, mulai tumbuh kelas pemilik dan kelas pekerja.Berdasar kepemilikan properti inilah muncul ketimpangan, baik dalam sosial, ekonomi dan seksual.Di sinilah supremasi laki-laki dan inferioritas perempuan tampak sebagai gambaran utuh dari sistem patriarki.
Selanjutnya, bila ingin menelusuri sejarah bagaimana kaum perempuan mulai kehilangan posisinya yang berpengaruh, dan pupus kehilangan kedudukan sosialnya, serta menjadi kelamin yang tersubordinasi dalam masyarakat patriarki ?.Buku Reed (2011), yang penuh kontroversi di ranah sains antropologi maupun sains lain, menyatakan bahwa matriarki pernah eksis justru di masa pra peradaban.Maka banyak orang percaya bahwa masa peradaban berhutang pada perempuan, karena telah membawanya pada sistem patriarki yang banyak membuat keterpurukan bagi perempuan.
Kajian sosiologis telah mencatat secara jelas bahwa relasi sosial dan hubungan dominasi di serap masyarakat sebagai suatu kondisi alamiah.Sehingga hubungan dominasi yang menimbulkan privilege tertentu dan ketidakadilan dianggap sebagai sesuatu yang natural dan alamiah (Bourdieu, 2010). Bourdieu menjelaskan bahwa internalisasi dan proses pengendapan yang telah berlangsung melalui kekerasan simbolik; yaitu suatu tindakan yang terjadinya sangat lembut, tidak terasa, tidak terlihat oleh korban-korbannya, sangat natural dan terbungkus kasih-sayang. Terjadinya melibatkan komunikasi dan pengetahuan yang bersifat simbolik.
Proses penyusunan relasi sosial seperti itu terasa biasa. Relasi sosial itu bermuatan logika dominasi yang dilakukan atas nama simbolik yang diakui dan diketahui oleh kedua belah pihak, baik pelaku (yang mendominasi) dan korban (yang di dominasi). Dengan demikian, persis seperti penjelasan Bourdieu, relasi itu sifatnya “kodrati”, natural; padahal yang sesungguhnya terjadi adalah bersifat kultural.
Karena dianggap kodrati dan natural, maka menjadi lebih mudah untuk mewujud dalam perilaku dan penampilan.Wujud yang demikian disebut sebagai garis demarkasi mistis.Pada garis demarkasi mistis inilah patriarki memperjelas dominasi posisi laki-laki. Misalnya: laki-laki, suara keras, percaya diri, menentukan tempat setiap manusia, kaku, tegas, terpisah dari artifisial, mengatur ritual-ritual, dsb. Sedangkan perempuan, banyak dikurung di rumah tanpa ijin ikut serta dalam lingkarpengaturan kemasyarakatan, selalu tergantung, perlu diatur, dst.
Gambaran itu menunjukkan apa yang disebut sebagai dominasi maskulin. Dalam demarkasi mistis ini, dominasi maskulin menjadi konsekuensi logis terbentuknya transfigurasi magis dan kekerasan simbolik; demikian pula dengan patriarki.Kedua konsep inilah yang menjadi dasar terwujudnya ketimpangan antar seks yang merugikan perempuan sebagai pihak yang berada di ruang ketimpangan.
Proses konstruksi tersebut dihasilkan oleh suatu kerja kolektif yang memakan periodisasi yang lama. Sehingga konstruksi sosial yang dinaturalkan itu (gender sebagai habitus yang di jenis kelamin kan) dipakai sebagai dasar alami pembagian arbitrer.Gagasan Bourdieu menggaris-bawahi pada implikasi konstruksi tubuh sosial pada atribut dan tindakan seksual.Atribut dan tindakan seksual dibebani habis-habisan oleh determinan antropologis dan kosmologis.Orang yang beratribut dan berperilaku tidak sesuai dengan konstruksi sosial dominan dikutuk, sebab dirinya tidak signifikan dan gagal melestarikan garis demarkasi mistis atau konstitusi seksual itu. Di sinilah proses pemuliaan dominasi menjadi kunci dari situasi “permanen” yang terus menerus di sosialisasikan dan di dorong untuk dipercayai sebagai situasi alami.
Konstitusi seksual tidak membuat kita melihat makna kosmologi yang terseksualkan.Kosmologi semacam itu berakar dalam suatu tipologi seksual tubuh yang disosialkan.Dengan demikian pembagian aktivitas berdasar oposisi antara maskulin dan feminin – adalah bersifat arbitrer.
Pada kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak, proses yang dijelaskan di atas terjadi.Pelaku adalah pemangku wacana dominasi seksual; di mana dominasi seksual identik dengan dominasi maskulin, dan juga identik dengan kekuasaan.Mereka tidak mampu meraih kekuasaan secara material, karena gagal mencapai kuasa materi ekonomi dan kuasa materi politik – budaya.Maka yang dilakukan adalah meraih kuasa materi seksual.Materi seksual diharapkan menjadi alternative capaian kuasa materi sosial.
Citra laki-laki dan perempuan, menurut Santoso (2011), tersusun atas dasar ketubuhan.Konstruksi ketubuhan sosial itu sesuai dengan selera laki-laki; hal itu menunjukkan betapa pentingnya pendalaman peristiwa sosial melalui analisis wacana tubuh sosial itu. Di mana pada penelaahan tubuh sosial lah akan bertemu titik perjumpaan kepentingan maskulin dan feminis, yang dimenangkan oleh maskulin.
Penempatan Perempuan di Indonesia; seperti halnya berbagai bangsa di dunia, kita punya masalah besar dalam penempatan perempuan dalam masyarakat.Ada pertanyaan besar soal penempatan perempuan dalam masyarakat itu, serta alasannya.
Dari telaah ketimpangan relasi sosiokultural, relasi kuasa materi ekonomi dan politik, keterasingan sosial, dan adanya nilai tubuh sosial, kini saatnya memikirkan perlindungan anak dan perempuan dari kejahatan seksual. (1) Sesungguhnya “rekayasa” perubahan sosial menurunkan kejahatan seksual memerlukan periodisasi yang cukup panjang, berkaitan dengan perubahan sudut pandang. Maka instrumen perlindungan perlu dipastikan efektivitas pelaksanaanya, dan ketegasan hukumannya. (2) Mekanisme monitoring atas implementasi instrumen hukum perlu ada. (3) Penguatan komitmen aparat penegak hukum dan keberpihakan mereka sangat penting bagi perlindungan anak dari kejahatan seksual. (4) Penguatan masyarakat untuk turut serta melakukan pemantauan terhadap keselamatan anak dan perempuan. (5) “Rekayasa” sosial tetap dibutuhkan, agar alarm tentang bahaya kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan tetap hidup, dan mencari jalan menyebarluaskan pengetahuan tentang kejahatan seksual sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi anak dan hak asasi manusia.
Intinya, keinginan untuk menata kehidupan suatu masyarakat agar lebih maju sebenarnya adalah sebuah upaya sistematis yang memikirkan bagaimana menyusun transformasi nilai-nilai kemanusiaan menuju martabat yang lebih baik.Ini sebenarnya merupakan sebuah upaya merekonstruksi situasi yang mungkin tak lagi mampu menanggung beban kemajuan jaman akibat berbagai hal, termasuk informasi dan teknologi.