NTB, Tribratanewsbengkulu.com – Di bawah bukit Desa Songgela tampak sebuah bangunan dengan atap Seng berwarna biru, itulah Musholah tempat Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fathul Alim berpusat. Ponpes Al Fathul Alim ini mulai dirikan pada tahun 2009 diatas lahan seluas seluas 0,8 herktare, dulunya lahan ini dibeli Jainudin dengan harga Rp 62juta, dengan uang yang berasal Dari warisan keluarga.
Ayah tiga anak ini mendirikan Ponpes tersebut dari hasil memeras keringatnya sendiri. Dalam arti seharfiah-harfiahnya. Maksudnya, Jainudin tak hanya merogoh koceknya sendiri. Tapi juga keluar tenaga untuk membangunnya.
Di awal Ponpes itu berdiri jainudin harus menyisihkan uang RP 300ribu sampai Rp 400 Ribu dari gaji bulanan untuk membeli dinding bambu. Material lain seperti pasir dia ambil langsung dari sungai yang mengalir di samping Ponpes, Junaidi sendiri yang mengangkutnya.
Kebutuhan kayu dia ambil dari tanah warisan keluarga di Desa Melayu. “saya tidak mungkin bayar tukang. Uang dari mana? Sesekali memang saya panggil satu atau dua warga buat minta bangun,” katanya.
Junaidi rela lakukan semua ini karena ingin membuat sesuatu untuk kampung tempatnya lahir dan dibesarkan. Sebab bagi Polisi pria yang tak pernah mengenyam pendidikan di Ponpes itu tahu sekali bahwa angka kriminalitas di Bima meningkat. Parahnya lagi, mulai melibarkan anak-anak usia remaja, dengan latar belakang melakukan kejahatan karena sudah putus sekolah dan kurangnya pemahaman ilmu agama. Hal itulah yang membuat Jainudin merasa terpanggil dan peduli terhadap pendidikan khususnya ilmu agama dengan sasaran anak-anak putus sekolah atau anak usia sekolah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.
“Mereka ini anak-anak desa songgela. Sekarang kalau penuh, jumlahnya bisa sampai 70 anak,” kata Jainudin. Yang dimaksud “kalau penuh” oleh Junaidin itu adalah Musholah yang atapnya berwarna bIru tersebut. Tidak sepeserpun biaya yang dikenakan kepada anak-anak yang ingin belajar dan mengaji di sana.
Ponpes ini dibangun Jainudin secara bertahap diawali dengan pembangunan musholah terlebih dahulu, disusul dengan bangunan-bangunan rumah tinggal dan ruang kelas. “hamper semua bangunan dulu pakai bambu sambil dibangun sudah ada anak-anak yang mengaji di sini namun belum banyak,” tutur Jainudin.
Baru sekitar satu tahun :Ponpes berjalan dinding bamboo yang dia beli dari hasil jerih payahnya sudah dimakan rayap. Hamper semuanya “saya Cuma bisa bilang subhanaullah,” kata Junaidin lalu tertawa.
Tapi dia sama sekali tidak putus asa, Jainudin akhirnya memilih bangunan Ponpes dengan material yang lebih kuat, yakni batu bata dan semen. Otomatis biaya yang dibutuhkan lebih besar. Juga waktu membangun lebih lama. Artinya dia harus pintar-pintar membagi waktu untuk tugas sebagai Polisi dan membangun Ponpes. (ALF)