Oleh: Kompol Heru Budiharto SIK, MIK
Tahun 1990-an, ekstasi, sabu dan heroin mulai memasuki pasar Indonesia. Penyebaran ini terus berkembang seiring dengan penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang meluas dan mengkhawatirkan. Penyalahgunaan narkoba terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Tidak memandang usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi, serta tinggal di perkotaan atau pedesaan.
Survei BNN tahun 2014 mengungkapkan, saat ini Indonesia menjadi pasar terbesar tingkat kawasan ASEAN untuk kebutuhan amphetamine type stimulants (ATS), khususnya jenis sabu kristal. Seluruh wilayah di Indonesia tidak ada yang bebas dari peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Sehingga, total kerugian ekonomi dan sosial akibat permasalahan narkoba mencapai Rp 63 triliun, yang terdiri dari Rp 6,9 triliun kerugian sosial dan Rp 56,1 triliun kerugian ekonomi. Selain itu, Indonesia saat ini tidak hanya sebagai transit perdagangan gelap serta tujuan peredaran narkoba, tetapi juga telah menjadi produsen dan pengekspor.
Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan permasalahan yang kompleks. Sehingga memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama multidisiplinier, multisektor, dan partisipasi aktif masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen, dan konsisten.
Meskipun dalam kedokteran sebagian besar narkoba masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan, terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Polri sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) menghadapi berbagai tantangan, yaitu:
1. Kebijakan nasional
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan pencegahan, perlindungan dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi.
Jika dilihat dari segi kesehatan, maka penyalahguna dan pencandu narkoba merupakan suatu penyakit otak kronis yang dapat mengalami kekambuhan. Penyalahgunaan narkoba disebut sebagai penyakit karena memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) memiliki agen penyebab (etiological agent) yaitu zat psikoaktif (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya), (b) memiliki tanda dan gejala, serta menyebabkan perubahan.
2. Tingginya angka prevalensi
Hasil Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan di Indonesia tahun 2014 oleh BNN mengungkapkan angka prevalensi penyalahguna narkoba pada populasi usia 10-59 tahun telah mencapai 4 juta (2,18%). Kemudian menurut tingkat ketergantungan pengguna narkoba diklasifikasikan 1,6 juta (40%) pengguna coba pemakai, 1,4 juta (35%) pengguna teratur pakai (3 hari dalam 1 minggu), dan 943 ribu (25%) pecandu.
Prevalensi ini menunjukkan adanya penurunan dibandingkan hasil survei tahun 2011, yaitu prevalensi penyalahguna narkoba 4,2 juta (2,2%) dengan rincian 1,15 juta (27%) pengguna coba pakai, 1,89 juta (45%) pengguna teratur pakai, dan 1,19 juta (28%) pecandu. Perbandingkan hasil survei tahun 2014 dengan 2011 menunjukkan bahwa meski terjadi penurunan prevalensi namun terjadi peningkatan signifikan untuk pengguna coba pakai, padahal 100% pengguna narkoba awalnya hanya sekedar mencoba.
Hasil survei tersebut juga mengungkapkan bahwa peredaran narkoba sudah menyasar pada tingkat sekolah dasar. Sebanyak 95 siswa SD di Kota Bekasi terlibat dalam penggunaan narkoba selama tahun 2010; BNNP Sumatera Utara menemukan seorang siswa kelas 5 SD di kawasan Medan Tembung sudah menggunakan shabu; sebanyak enam orang berusia sekolah dasar di DKI Jakarta terbukti menggunakan narkoba, dan di Jambi seorang siswa SD berusia 13 tahun menggunakan lem, shabu, ganja dan obat-obat yang diperuntukkan untuk orang yang sakit keras.
3. Minimnya tempat rehabilitasi
Tempat rehabilitasi narkoba masih minim, padahal penyalahguna narkoba memerlukan perawatan rehabilitasi sesuai dengan tingkat ketergantungan. Selain itu, akses rehabilitasi bagi pengguna narkoba juga belum berjalan maksimal.
4. Paradigma masyarakat Indonesia
Masyarakat masih memiliki kesadaran yang rendah terhadap ancaman permasalahan narkoba, serta terdapat stigma kepada keluarga dan pengguna narkoba.
5. Peredaran narkoba yang kompleks
Bisnis narkoba menghasilkan banyak uang, sehingga banyak orang yang berminat untuk terlibat dalam peredaran narkoba, termasuk oknum penegak hukum. Gembong narkoba yang berada di Lapas masih bisa mengendalikan jaringan peredaran gelap narkoba. Selain itu survei BNN tahun 2014 mengungkapkan bahwa 80% pengiriman narkoba ke Indonesia melalui jalur perairan dan modus operandi yang digunakan selalu berubah-ubah.
6. Lemahnya praktik hukum
Penegak hukum lebih “suka” memenjarakan pengguna narkoba, sehingga lapas menjadi tempat berkumpulnya pengedar dan pembeli. Selain itu, hukuman mati tidak dilaksanakan secara konsisten.
Darurat narkoba mendorong pemerintah menetapkan kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi pencegahan penyalahgunaan narkoba; penyediaan fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba yang dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat; dan pemberantasan jaringan peredaran gelap narkoba.
Dari kebijakan tersebut disusun suatu strategi sebagai berikut:
1. Mendorong masyarakat menjadi imun narkoba, yaitu mempertahankan kondisi masyarakat yang belum menggunakan narkoba agar tetap tidak menggunakan/menyalahgunakan narkoba;
2. Membantu korban penyalahgunaan narkoba agar pulih kembali, yaitu memulihkan atau menyembuhkan warga masyarakat yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba dan mengupayakan tidak relapse;
3. Memberantas jaringan peredaran gelap narkoba, termasuk memberantas produksi dan sindikat/jaringan peredaran gelap narkoba.
Kebijakan dan strategi yang pertama dan kedua dimaksudkan untuk mengurangi permintaan (demand reduction), sedangkan yang terakhir untuk pengurangan pasokan (supplay reduction). Selain itu, kebijakan dan strategi yang ada juga bertujuan untuk mengurangi dampak buruk (harm reduction).
Berkaitan dengan kebijakan dan strategi penanggulangan narkoba, pemberantasan narkoba menjadi agenda nasional di bidang penegakan hukum. Beberapa langkah komprehensif yang diambil oleh Polri sebagai aparat penegak hukum adalah:
1. Upaya pre-emtif
Upaya pre-emtif adalah menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor yang mendorong timbulnya kesempatan atau peluang untuk melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan usaha/kegiatan untuk menciptakan kesadaran, kepedulian, kewaspadaan dan daya tangkal masyarakat. Selain itu, juga melakukan penyuluhan-penyuluhan baik di sekolah-sekolah, pemukiman, maupun tempat-tempat ramai yang dikunjungi masyarakat, tempat hiburan malam dan mal. Sosialisasi tentang narkoba melalui wadah penyuluhan ini sangat penting dilakukan agar masyarakat (remaja, dewasa, dan orangtua) mengerti tentang narkoba, bahaya narkoba, dan efek/akibat yang ditimbulkan terhadap kesehatan fisik maupun psikis.
2. Upaya preventif
a. Semakin maraknya penyalahguna muda yang mencampur beberapa jenis obat/zat dengan alkohol maupun minuman bersoda, maka perlu dilakukan peningkatan kerjasama dengan berbagai pihak terkait (ormas) untuk pengawasan titik wilayah yang sering dijadikan tempat tongkrongan/tempat kumpul anak muda, misalnya arena balap liar, tempat hiburan, area parkir, halte, dsb.
b. Tingginya proporsi pengguna coba pakai dan teratur pakai narkoba, maka perlu mengintegrasikan materi KIE narkoba ke dalam pendidikan anak usia dini ke pendidikan formal maupun non formal dengan konsep Life Skill Education (LSE).
c. Angka prevalensi pada kelompok pelajar dan pekerja yang relatif tinggi dan rawan narkoba, maka perlu pengawasan ketat terhadap larangan merokok di tingkat sekolah, serta melakukan koordinasi dengan pihak sekolah, orangtua, lingkungan kerja, dan toga soma untuk meningkatkan pengetahuan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Selain itu, intervensi program P4GN harus lebih diintensifkan pada kelompok pelajar, pekerja, maupun pengangguran dengan melibatkan berbagai stakeholders terkait.
d. Pergeseran pola jenis zat yang disuntikkan tidak hanya putaw dan mulai munculnya IDU baru, maka perlu dilakukan peningkatan koordinasi untuk pengawasan, serta penguatan layanan program harm reduction (PTRM, Subuxon, dan LAS). Selain itu perlu mengembangkan sistem pemantauan lebih ketat terhadap pemalsuan resep dokter yang disalahgunakan oleh pecandu untuk membeli berbagai obat seperti valium, xanax, tramadol, dsb.
e. Pintu masuk narkoba lebih banyak melalui jalur pelabuhan laut dan sungai yang masih sangat minim pengawasan (daerah perbatasan), sehingga perlu dibentuk posko dan jalur koordinasi yang melibatkan peran serta masyarakat melalui satgas atau kader anti narkoba di beberapa jalur perbatasan rawan narkoba, serta dukungan peralatan yang memadai untuk komunikasi. Selain itu, juga diberikan pemberian reward pada mereka yang berjasa dalam pengungkapan kasus.
f. Masih mudahnya pelabuhan/bandara ditembus ketika membawa narkoba oleh para pengedar/bandar/users sehingga perlu mereview SOP kinerja serta peningkatan kualitas ataupun kuantitas SDM dan pelengkapan peralatan deteksi dini pada berbagai titik masuk, seperti pelabuhan dan bandara. Selain itu, pelaksanaan hukuman yang berat dan tegas kepada pengedar dan bandar narkoba terlebih warga asing sehingga bisa menimbulkan efek jera.
g. Maraknya peredaran narkoba di dalam lapas, bahkan para bandar masih bisa mengendalikan peredaran narkoba maka perlu dilakukan peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan pihak terkait memperketat pengendalian di dalam lapas, dengan melarang dan menindaktegas para petugas (termasuk napi) yang terlibat dalam memberikan kemudahan alat komunikasi. Selain itu, menyediakan alat deteksi komunikasi agar pihak aparat penegak hukum dapat mendeteksi semua komunikasi yang terjadi di dalam lapas, serta melakukan razia mendadak secara rutin.
3. Upaya represif
Upaya represif adalah penindakan terhadap tersangka penyalahgunaan narkoba. Upaya penindakan didahului dengan penyelidikan kasus kejahatan narkoba yang terungkap baik tersangka pemakai, pengedar dan bandar narkoba. Selain itu juga pengungkapan dan pemutusan jaringan sindikat perdagangan dan peredaran gelap narkoba, baik nasional maupun internasional diintensifkan. Dalam upaya represif ini juga dilakukan pemusnahan barang bukti narkoba dari hasil penyitaan dan penyitaan aset milik pelaku kejahatan perdagangan dan peredaran gelap narkoba.
Secara khusus Polri perlu mempertimbangkan penanganan tersangka pengguna di tingkat penyidikan, yaitu:
a. Penanganan tersangka pengguna narkoba di tingkat penyidikan dilakukan oleh assesor team yang memiliki kompetensi dalam menilai skala ketergantungan atau tingkat kecanduan. Penilaian ini menjadi salah satu pertimbangan bagi penyidik dan bukan merupakan syarat keharusan untuk dilakukan rehabilitasi.
b. Pemberian rehabilitasi hendaknya didasarkan pada asas equality before the law dimana setiap tersangka memiliki hak yang sama di depan hukum, rehabilitasi di tingkat penyidikan ini telah dikuatkan dengan terbitnya PP No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor.
c. Pemberian rehabilitasi di tingkat penyidikan tidak akan bermanfaat apabila tidak didukung kebijakan yang sama di tingkat penuntutan dan pengadilan, sehingga perlu komitmen bersama dari masing-masing unsur sistem peradilan pidana, berupa koordinasi di tingkat sistem peradilan melalui forum pertemuan subsistem peradilan pidana secara kontinue dan rutin. Semangat yang dianut dalam pemberian rehabilitasi terhadap pengguna narkoba adalah semata-mata untuk mencegah melebarnya suatu jaringan narkoba melalui proses rekruitmen dari para bandar narkoba.
d. Pemberian rehabilitasi tidak dihitung dalam masa tahanan penyidikan. Tujuan rehabilitasi adalah pemulihan ketergantungan tersangka yang memerlukan tenggang waktu yang cukup lama sehingga proses rehabilitasi dalam tahap penyidikan hendaknya dilanjutkan kembali pada masa penuntutan dan pengadilan. Hakim dapat memutuskan rehabilitasi tersangka sesuai Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Selain itu, pada konstruksi hukum terhadap tersangka pengguna yang mengalami ketergantungan perlu ditegaskan status kesehatannya. Apabila dikategorikan sakit maka status rehabilitasi merupakan status khusus yang berbeda dengan status pembantaran tersangka. Hal ini bertujuan untuk menghindari polemik rehabilitasi sebagai salah satu wujud proses pembantaran.
e. Untuk menghindari penyimpangan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap tersangka pengguna narkoba perlu dibentuk fungsi pengawasan khusus kepada masing-masing subsistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, hakim, dan BNN).
Penulis adalah Wakil Kepala Kepolisian Resor Magelang, Jawa Tengah