BENGKULU, tribratanewsbengkulu.com – Menyusul tragedi Yy, bermunculan kasus gang rape dan kekerasan seksual (KS) lain, seperti gang rape terhadap perempuan muda di Manado, terhadap naka dibawah 10 tahun di Lampung, dan KS terhadap balita di Bogor dua hari lalu. Ada situasi yang amat menyedihkan, dan berdampak pada kecemasan massa dan keprihatinan masyarakat.
Dari pembicaraan luas tentang KS, mayoritas bicara tentang kronoligi peristiwa, instrumen hukum, hukuman yang pantas dijatuhkan kepada pelaku, proses pendampingan, “popularisasi” keluarga korban di media, pembela hukum pelaku, serta tanggung jawab Pemda. Ada satu unit di Kepolisian yang hampir terlupakan, yaitu PPA; meski pihak kepolisian adalah pihak yang dikejar oleh pencari informasi dan berita.
Unit PPA adalah unit penyangga kerentanan perempuan dan anak. Embrionya dibangun dari unit bernama Rendawa (Remaja, Pemuda, dan Wanita). Kemudian berkembang menjadi unit Pelayanan Perempuan dan Anak – disingkat PPA. Dasar kerja unit ini adalah Perkap No. 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit PPA di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia.Unit Rendawan berada di bawah Binmas yang kemudian berubah nama menjadi Binamitra. Unit ini adalah fungsi Reskrim yang bernama RPK (Ruang Pelayanan Khusus).
Bagi masyarakat umum, terutama yang punya keprihatinan dan bekerja untuk isu perempuan dan anak, unit PPA ini adalah semacam sinar yang menerangi gelapnya persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPA), apalagi KS. Munculnya unit ini di badan kepolisian sesungguhnya juga atas desakan para relawan yang bekerja di lapangan dan mencapatkan kesulitan kala berjuang membantu korban, dan pelayanan di Kepolisian adalah laki-laki.
Menurut situs Kepolisian RI, kemunculan unit ini merespon kerentanan perempuan dan anak – dan diakui bahwa diantara kerentanan itu, yang paling mendorong lahirnya unit ini adalah kerentanan fisik dan seksual. Kepolisian menyadari bahwa nilai dan kultur di dalam masyarakat masih kental adanya budaya patriarkhi di mana laki-laki memandang rendah perempuan. Budaya inilah yang menjadi pemicu atas berbagai kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.
Korban dari KtPA, terutama korban dari KS berurusan dengan polisi, apakah itu di tingkat Polsek atau Polres, juga Polda. Tahapan dari pelaporan akan menuju kepada pembuatan BAP dan visum – dan unit PPA dibutuhkan. Nah dalam rangkaian inilah, korban KtPA dan KS perlu mendapat “kenyamanan” dan “keamanan”, serta sebuah sistem prosedur baik. Sistem tidak membuat mereka menjadi korban dalam proses pemeriksaan perkara. Di Kepolisian, penyidik perempuan dibutuhkan untuk mengisi unit PPA. Untuk memenuhi kebutuhan awak PPA itu, maka ada pelatihan khusus bagi Polwan yang bertugas di sana.
Kita pasti tidak menyangka bahwa unit PPA ini adalah unit yang sibuk. Mereka menerima pelaporanperkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, kehamilan yang diingkari, perdagangan perempuan dan anak, perkara poligami, perkosaan, incest, gang rape, perseingkuhan, kekerasan ekonomi, dan masih banyak bentuk KtPA lain.
Setiap tahun angka KtPA dan KS terus meningkat, untuk kasus-kasus di Propinsi Bengkulu tahun 2015 dan 2016 yang tercatat di Polda menunjukkan:
NO | RES JJRN | THN 2011 | THN 2012 | THN 2013 | THN 2014 | THN 2015 | THN 2016 | ||||||
L | S | L | L | S | L | S | L | S | L | S | |||
1 | Polda Bengkulu | 13 | 7 | 21 | 14 | 4 | 2 | 2 | 2 | 7 | 1 | 5 | 3 |
2 | Res Bengkulu | 55 | 36 | 27 | 24 | 24 | 19 | 30 | 17 | 22 | 14 | 5 | 4 |
3 | Res Bengkulu Utara | 24 | 18 | 18 | 10 | 15 | 9 | 4 | 3 | 8 | 4 | 7 | 5 |
4 | Res Bengkulu Selatan | 2 | 2 | 17 | 16 | 11 | 9 | 10 | 2 | 1 | 0 | 2 | 2 |
5 | Res Rej Lebong | 0 | 1 | 1 | 12 | 1 | 1 | 0 | 0 | 0 | 0 | 1 | 0 |
6 | Res Kepahiang | 5 | 4 | 6 | 5 | 3 | 2 | 3 | 2 | 4 | 2 | 1 | 0 |
7 | Res Lebong | 0 | 0 | 4 | 4 | 4 | 1 | 6 | 3 | 9 | 6 | 1 | 1 |
8 | Res Seluma | 2 | 1 | 1 | 0 | 1 | 1 | 2 | 0 | 13 | 7 | 0 | 1 |
9 | Res Kaur | 3 | 3 | 4 | 3 | 6 | 3 | 0 | 2 | 2 | 1 | 1 | 1 |
10 | Res Muko-Muko | 5 | 4 | 2 | 0 | 1 | 1 | 2 | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 |
Dalam Tugas pelayanan, PPA bekerja sama dengan unsur masyarakat sipil yang juga melakukan kerja pendampingan terhadap kasus-kasus KtPA dan KS, dan pihak Pemerintah Daerah yang kita dilengkapi dengan Badan PP dan PA (dengan berbagai nama pada nomeklaturnya). Kolaborasi itulah yang membuat kelembagaan ketiga pihak bisa saling menguatkan dan berbagai fokus kerja.
Agak berbeda dari dua lembaga mitra kerjanya, yaitu Pemda dan CSOs, PPA jarang tampil kepada publik dan media, meski kerja kerasnya sangat berarti. Ada catatan menarik dari sebuah situs, yang menceritakan bahwa ada kasus KS yang menimpa anak-anak di Jakarta Timur … sangat sulit untuk menemukan siapa pelaku dari KS anak tersebut, dengan strategi yang dijalankan, akhirnya PPA dapat menemukan pelaku adalah ayahnya sendiri – dan bentuk kejahatan seksual ini yang kemudian terkenal dengan nama “incest”.
Laporan kasus incest kepada kepolisian di Bengkulu banyak, meski perhatian dan keprihatinan terhadap KS tidak selalu harus berkuantitas banyak. Kondisi ini tentu perlu dukungan kepada kerja PPA. Munculnya kasus-kasus KS, gang rape, incest, dan bentuk kejahatan seksual lain – memberi alarm kepada semua pihak, baik lembaga pendidikan, pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi untuk tidak menyerahkan solusi atas kasus kejahatan seksual kepada kepolisian. Di atas sudah disebutkan bahwa akar dari kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak adalah pada budaya, budaya yang merendahkan perempuan dan anak, perempuan yang membawa sial, perempuan yang harus tunduk atas kuasa laki-laki, serta perempaun dan anak sebagai obyek.
PPA – memang punya fungsi membina masyarakat, tetapi dari segi jumlah awak yang terbatas, dan belum semua Polsek mampu punya PPA dengan awak Polwan, menunjukkan bahwa mereka perlu dukungan dari masyarakat di selitarnya, maupun masyarakat luas. PPA adalah peluang untuk memberi tanda-tanda sebelum kejahatan benar-benar terjadi. Artinya masyarakat tidak perlu menunggu kajahatan terjadi, apabila ada tanda-tanda maka berdiskusi dengan kepolisian, terutama para awak PPA akan sangat membantu, dan mencegah jatuhnya korban.
Artikel ini memberi dorongan optimisme, agar peluang-peluang yang ada untuk mencegah KtPS, KS dan KDRT dapati kita pergunakan secara maksimal untuk upaya preventif. Sebab bila kejahatan telah terjadi, maka hiruk pikuk menyalahkan antara pihak justru memperkeruh proses penjaminan keadilan.
Sebagai tambahan, barangkali masyarakat luas belum banyak mengenal PPA; ada lembaga lain yang melakukan Monitoring dan Evaluasi (M & E) atas kerja-kerja PPA itu. Komnas Perempuan, misalnya, melakukan M & E terhadap kerja PPA; contohnya M & E kepada PPA Ambon dilakukan oleh Komnas pada event 16 HAKtP tahun 2015 lalu. Selain Komnas Perempuan, lembaga seperti KPK2BGA (Tim Komisi Perlindungan Korban Kekersan Berbasis Gender dan Anak) Jawa Tengah, melakukan M & E kepada PPA Polda Jateng. Demikian juga dengan KPAI, mereka secara reguler melakukan M & E kerja PPA.
Akhir dari artikel ini, adalah refleksi tentang kecerdasan kita memelihara peluang dan mempererat kolaborasi melawan kejahatan seksual. Melawan pelaku adalah jalan yang tak terelakkan, tetapi menghentikan embrio kejahatan seksual adalah tantangan, juga bagi PPA.