Jakarta, tribratanewsbengkulu.com – Komjen Tito Karnavian menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test sebagai calon tunggal Kapolri di Komisi III DPR kemarin (23/6). uji kelayakan dan kepatutan ini dilalui Tito dengan mulus dan Tito berhasil meyakinkan mayoritas fraksi dengan jawaban-jawabannya.
Sepuluh fraksi di komisi III DPR kemarin secara bulat menyetujui penetapan Tito sebagai Calon Kapolri yang baru menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti.
Alumni Akpol 1987 ini memaparkan Visi dan Misinya selama 30 menit dihadapan seluruh anggota komisi III DPR. Tito menyatakan, visinya adalah terwujudnya Polri yang makin profesional dan modern. Untuk mencapai itu, Tito merumuskan delapan misi yang ingin dia capai saat terpilih dan dilantik menjadi Kapolri.
Delapan misi itu adalah melanjutkan reformasi internal Polri, mewujudkan organisasi dan postur Polri yang ideal dengan didukung sarana dan prasarana kepolisian yang modern, mewujudkan pemberdayaan kualitas SDM Polri yang professional dan kompeten, yang menjunjung etika dan HAM. Tito juga berjanji meningkatkan kesejahteraan anggota Polri.
Empat misi lain dari Tito adalah meningkatkan kualitas pelayanan prima dan kepercayaan publik, meningkatkan kemampuan pencegahan kejahatan dan deteksi dini berlandaskan prinsip pemolisian proaktif dan pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah, serta meningkatkan keamanan ketertiban nasional dengan mengikutsertakan publik. Juga, mewujudkan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, dan menjunjung tinggi HAM dan KKN.
Dalam sesi pertanyaan, Tito banyak mendapat pertanyaan terkait isu senioritas, kasus Labora sitorus dan isu terorisme. Misalkan, anggota Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi yang menanyakan isu penanganan terorisme yang dinilai tidak efektif. Anggota Fraksi PPP Arsul Sani juga mempertanyakan konsep penegakan hukum pidana dalam kasus terorisme yang terabaikan, karena lebih cenderung melakukan eksekusi terhadap tersangka. ”Apakah criminal by justice masih berlaku dalam kasus terorisme, atau memang tetap seperti sekaang,” kata Arsul.
Anggota Fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsyi kembali mempertanyakan isu senioritas di mana di internal Polri masih banyak jenderal dari angkatan 1982 hingga 1986 di sekeliling Tito. Tak lupa, Bambang Soesatyo mempertanyakan isu kasus Freeport atau kasus “papa minta saham”, di mana Tito disebut-sebut dalam rekaman yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid. ”Kami juga ingin tahu respons calon Kapolri terkait kasus Labora Sitorus, di mana saudara disebut-sebut pernah terkait,” ujar Bambang.
Tito yang diberi kesempatan memberikan jawaban setelah sesi istirahat, menyampaikan penjelasan dengan gamblang. Dalam kasus Labora, misalnya, Tito menjelaskan bahwa Polda Papua sudah melakukan pemeriksaan terhadap anggota Polri itu. Bahkan sebelum Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan menyampaikan temuan kepemilikan rekening sebesar Rp 1,2 triliun. Labora yang disebut sebagai pemilik rekening gendut itu ternyata hanya memiliki rekening senilai Rp 10 miliar. ”Temuan PPATK itu adalah akumulasi dari aktivitas rekening Labora,” kata Tito.
Terkait aliran dana, Polda Papua ketika itu memeriksa 17 rekening anggota Polri. Mereka yang menerima memiliki pangkat tertinggi Kombes. Dalam penyidikan Polri, terungkap bahwa Kapolres Raja Ampat menerima sejumlah uang dari Labora. ”Uang itu sepertinya akan diberikan pada saya, namun saya tidak pernah menerima. Jika menerima, saya tidak akan berani menindak Kapolres itu,” tegas Tito.
Dalam hal persoalan senioritas, Tito menegaskan kembali bahwa dirinya menyadari hal itu. Karena itulah, sejak awal dirinya merasa tidak nyaman jika harus memimpin senior. Namun, karena sudah mendapat perintah Presiden Joko Widodo, Tito menyatakan harus taat perintah sebagai prajurit. ”Saya harus allout terhadap tugas yang diberikan,” kata Tito.
Terhadap hubungan kepada senior, Tito menyatakan hubungan dilakukan secara profesional dan proporsional. Tidak semua senior harus dibuat senang. Namun, mereka yang berkompeten, objektif, layak ditempatkan dalam sebuah jabatan. ”Ini beberapa kali kami lakukan baik di Polda Papua, Asrena, maupun Polda Metro,” kata Tito.
Jika berbicara dengan lembaga lain, termasuk KPK, Tito menilai hal yang terpenting adalah komunikasi. Komunikasi bisa dilakukan secara formal maupun personal. Kebetulan, Tito mengaku dekat dengan pimpinan KPK saat ini. Namun, hubungan kelembagaan akan percuma jika berjalan baik di tingkat pusat saja.
”Di jajaran bawah, kami akan dorong semaksimal mungkin menjalin komunikasi formal dan informal. Baik tidaknya hubungan, ini akan menjadi kriteria promosi atau demosi,” tegasnya.
Menjawab isu terorisme, Tito menyatakan hilangnya nyawa manusia sudah terjadi sejak dulu. Polri khususnya Densus 88 selalu mengedepankan penegakan hukum. Namun, mengapa tetap ada 121 orang yang mati karena penindakan terorisme? Tito menyatakan hal itu disebabkan persoalan taktis di lapangan.
”Saat ada ancaman yang membahayakan petugas atau rakyat, tidak ada pikiran lain selain membela negara. Para pelaku juga cenderung melawan, karena jika mati, mereka masuk surga,” ujar Tito.
Menurut Tito, jangan hanya melihat jumlah yang meninggal. Dia menyatakan masih ada 900-an orang yang bisa tertangkap hidup-hidup dalam penindakan terorisme. Tito juga sependapat bahwa kontrol terhadap anggota Densus harus ketat, namun menolak jika harus dibentuk dewan pengawas Densus 88. ”Mekanisme pengawasan saat ini sudah memadai, ada irwasum, propam, komnas ham, media. Jangan kita euforia menambah dewan pengawas yang tak perlu hadir,” ujarnya.
Terakhir, dalam kasus “papa minta saham”, mengingatkan bahwa dia disebut bukan karena saham yang ingin dibagi-bagi. ”Nama saya disebut karena dinyatakan berkontribusi atas kemenangan Pak Jokowi di Papua,” kata Tito.
Namun, lanjut Tito, fakta sebenarnya bukan seperti itu. Polda Papua selama pilpres 2014 netral dan tidak memihak baik Jokowi-Jusuf Kalla ataupun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sulit untuk memanipulasi perolehan suara pilpres karena baik KPU maupun saksi dua pasangan calon sama-sama menggunakan teknologi informasi sebagai rujukan.
Terkait kemenangan Jokowi-JK di Papua, Tito juga memiliki jawabannya. Dia mencatat bahwa Jokowi ketika pilpres dua kali mendatangi Papua. Pertama bersama tim dengan skala kecil, kedua bersama keluarga.
”Pak Jokowi sampaikan kalau nama istri beliau, Iriana, berasal dari kata Irian, itu membuat hati masyarakat Papua suka. Sementara pak Prabowo dan pak Hatta, tidak ada yang ke sana. Bagi masyarakat Papua, siapa yang mendatangi mereka, itulah pilihan mereka,” tandasnya.
Dengan ditetapkannya Tito sebagai calon Kapolri, maka proses selanjutnya di DPR tinggal menunggu penetapan di sidang paripurna DPR. Bambang menyatakan, sidang paripurna penetapan Tito sebagai Kapolri akan dilaksanakan pada Senin (27/4) mendatang. (Alf)