Polwan baru saja merayakan hari jadinya minggu lalu. Perayaan di tingkat nasional, maupun di daerah cukup meriah. Kepolisian tidak hanya merayakan hari jadi Polwan ini di selingkung komunitas polisi, namun meluas, mengajak masyarakat, organisasi masyarakat sipil mitranya, dan media.Membaca fenomena ini, saya melihat Kepolisian berusaha keras untuk membuka cakrawala masyarakat tentang kinerja Kepolisian secara berkelanjutan, khususnya melalui kehadiran Polwan masa kini.
Perubahan paradigma Kepolisian sejak 1998 turut mewarnaiaras fungsi Polwan. Perubahan mendasar pada Kepolisian di era reformasi sedang didorong melintas pagar wacana, dan menjadi manner atau mewujud dalam tindakan setiap polisi sehari-hari. Institusi baru, seperti Kompolnas, misalnya, dibentuk sebagai institusi yang menjembatani Polri dan Pemerintah, khususnya dalam memonitor dan mengawasi tugas Kepolisian.
Tugas pokok kepolisian ada tiga, yaitu (i) menjaga keamanan dan ketertiban, (ii) penegakkan hukum, dan (iii) pengayoman. Dalam buku baru tentang Sosiologi Kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat sipil Pasca Orde Baru, yang ditulis oleh Sutrisno (2016) menyebutkan, bahwa oleh mayoritas pers, ketiganya justru merupakan hal paling lemah yang dilakukan oleh kepolisian.Pengakuan ini menarik, apalagi kalau konteks nya adalah fungsi dan kinerja dari para Polwan, yang juga memiliki tanggung jawab untuk menjalankan ke tiga tugas pkok tersebut.
Bagi saya, yang lebih mengagetkan lagi bahwa dalam kajian ilmiah tentang sosiologi kepolisian itu, dan jangan-jangan juga di banyak tulisan/studi tentang kepolisian, tidak ada sedikitpun ditulis mengenai Polwan. Satuan yang selama ini sangat membantu percepatan upaya kepolisian untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Dengan kata lain, ada fakta sosial yang saat ini diketahui adalah bahwa Polwan tidak eksis sebagai satuan khusus – melainkan terbalut dalam konteks identitas tunggal kepolisian. Atau Polwan bukanlah sebuah fakta sosial. Lepas dari perdebatan bernuansa akademik itu, tulisan ini ingin membahas bagaimana seorang warga masyarakat memandang kehadiran Polwan.
Fungsi Menjembatani (Bridging)
Kilas balik rekrutmen Kepolisian terhadap perempuan untuk bertugas di ranah ketertiban, penegakkan hokum, dan pengayoman warga, perlu menyimak kelahiran Polisi Wanita atau Polwan pada 1 September1948. Isu yang melatari kelahiran Polwan di Indonesia, ternyata sarat dengan adanya isu perempuan, di mana perempuan warga negara memerlukan penegak hukum perempuan untuk memeriksa kasus. Kalau kita membaca informasi dari Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Polwan), jelas ditulis bahwa pada saat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI),kepolisian menghadapi Agresi Militer Belanda II,di Bukittinggi – Sumatera Barat, terjadi pengungsian besar-besaran, baiklaki-laki, perempuan, dan anak-anak untuk menjauhi titik-titik peperangan. Masa perang selalu banyak kasus penyusupan dan berbagai pengkhianatan berkedok warga sipil. Dari kondisi inilah, maka semua pengungsi di geledah oleh polisi. Namun para pengungsi perempuan, di Bukittingi tidak mau diperiksa, apalagi digeledah secara fisik oleh polisi laki-laki.
Merespon isu inilah, maka Pemerintah Indonesia menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukittinggi untuk membuka “Pendidikan Inspektur Polisi” bagi kaum perempuan. Setelah melalui seleksi terpilihlah enam orang gadis remaja yang kesemuanya berdarah Minangkabau dan juga berasal dari Ranah Minang. Sejak itu berkembanglah rekrutmen Polwan di seluruh Nusantara dalam rangka menyeimbangkan kebutuhan masyarakat.
Konteks kekinian, eksistensi Polwan masih konsisten dengan kebutuhan masyarakat. Paling tidak masyarakat juga menuntut penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak, apalagi kasus kekerasan seksual harus berada di tangan Polwan. Meski pada saat UU PKDRT, UU Perlindungan Anak belum lahir, dan persoalan desk pemeriksaan korban ini menjadi perdebatan tentang siapa yang akan meng-awak-i, masyarakat sipil serta para korban dan keluarga, sudah santer tuntutan adanya Polwan pada desk pemeriksaan di Kepolisian itu.
Lahirnya UU No.10 Tahun 2007 menjawab tuntutan keharusan adanya PPA untuk melayani kasus perempuan dan anak – dan Polwan lah yang menjadi petugas di sana. Saat ini, warga sudah mulai terbiasa dengan unit PPA di Kepolisian ini, baik di tingkat Polda maupun Polres. Meski situasinya sangat beragam, mengingat keluhan SDM Polwan yang relative terbatas, di tingkat Polsek belum seluruhnya dapat difasilitasi oleh Polwan.
Membaca fenomena itu, Polwan merupakan satuan dari Kepolisian yang strategis dan menjadi penyeimbang, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, fungsi Polwan yang paling strategis adalah pada unit PPA, di samping fungsi kedinasan Kepolisian yang lain dan manajemen. PPA adalah salah satu inovasi yang patut dijadikan kredit bagi Kepolisian – sebagai respon atas keinginan publik. Demi memenuhi kebutuhan unit PPA ini pula, Kepolisian juga mendidik Polwan untuk memahami isu kritis perempuan dan mempersiapkan mereka untuk mengisi unit PPA tersebut.
Secara eksternal, Polwan – apalagi yang banyak berkecimpung dengan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, menjadi jembatan bagi institusi Kepolisian dalam berkomunikasi kepada warga/rakyat. Fungsi Polwan sebagaibridging yang tercipta dari kolaborasi penanganan kasus kekerasan, perlahan – kadang tak terasa mendekatkan Kepolisian kepada warga/rakyat. Saat interkoneksi itu terjadi, maka kinerja Kepolisian turut “dipuji” oleh masyarakat.
Mewarnai Ketertiban Hukum di Era Demokratisasi
Di atas sudah dibahas bagaimana Polwan mampu mendekatkan Kepolisian kepada masyarakat. Salah satu ciri dari era demokrasi paska kejatuhan Orde Baru, atau masa reformasi adalah suasana kebebasan menyampaikan pendapat. Bentuk dari penyampaian pendapat publik kepada Negara dan Pemerintahan Daerah adalah melalui berbagai rally – atau demonstrasi / unjuk rasa. Saya memandang kehadiran para Polwan pada setiap pengamanan unjuk rasa memberi nuansa yang berbeda. Semangat “merawat” suasana panas saat unjuk rasa juga membawa suasana para demonstran. Jauh dari memberi steriotipi kepada Polwan sebagai perempuan – tak dapat dinafikan bahwa cara dan metode yang mereka pilih untuk mengelola massa berbeda dari polisi laki-laki. Keistimewaan inilah sebenarnya yang perlu di apresiasi di dalam tubuh institusi Kepolisian sendiri terhadap Polwan.
Rekrutmen Polwan makin lama juga makin “meluas”, dengan kriteria yang dipertahankan untuk memenuhi ketiga fungsi pokok Kepolisian, saya mengamati para Polwan muda memiliki berbagai ketrampilan ekstra, yang itu menjadi keuntungan bagi Polri. Latar belakang bidang keilmuan Polwan sangat membantu tujuan Kepolisian untuk melakukan reformasi di dalam tubuhnya.
Langkah itu tak bisa dihindari, sebab saat ini Kepolisian menghadapi kultur masyarakat yang terus bergerak. Kultur yang bergerak tersebut makin cepat dalam konteks perkembangan teknologi di segala bidang. Sehingga bentuk kejahatan pun makin berwarna dan rumit. Mampukah rekrutmen Polwan yang “meluas” itu berpacu dan beradaptasi terhadap kultur yang bergerak amat cepat.
Respon kepolisian terhadap perubahan kultur yang bergerak tadi, setidaknya yang bisa saya sebut, adalah munculnya Polwan cantik di media visual (program TV), terutama untuk pelaporan lalu-lintas. Strategi komunikasi massa ini masuk akal, agar masyarakat pemirsa program news melihat armada kepolisian yang sangat “human”. Kehadiran perempuan polisi ini “memanusiakan” kerasnya lalu lintas jalanan, serta memberi perubahan cara pandang masyarakat terhadap kepolisian. Ini adalah pendekatan yang halus, untuk membuat masyarakat merasa nyaman.
Polwan dan Organisasi Masyarakat Sipil
Polwan memecah kebekuan atas relasi kuasa polisi – Organisasi Masyarakat Sipil. Menurut Sutrisno (2016) kepercayaan organisasi masyarakat sipil terhadap Kepolisian belum penuh. Kondisi relasi dan kepercayaan itu timbul tenggelam sesuai dengan kinerja yang diperlihatkan oleh Kepolisian, baik nasional maupun di daerah.
Kemandirian kepolisian dari militer di masa reformasi, bisa bermata dua, di satu sisi ada keuntungan warga atas tradisi dominasi dan hegemoni kultur militer – dan lebih dekat kepada fungsinya menjaga ketertiban masyarakat dan melindungi masyarakat dari kejahatan sipil dan militer; di sisi lain, bisa juga menjadi lepas kendali dari kontrol dan profesionalitas penegak hukum.
Untuk konteks Polwan, seperti sudah dijelaskan di atas, kehadirannya – baik sebagai partner yang didatangi oleh mitra. Maupun sikap Polwan dalam melakukan outreach, yang menjangkau kelompok-kelompok perempuan mitra kerjanya – adalah langkah memecah kebekuan. Kerja-kerja bersama dengan komunitas masyarakat sipil cukup efektif dalam menangani kasus kritis perempuan dan anak.
Yang menjadi tantangan Polwan, dari sudut pandang orang luar Kepolisian, adalah bagaimana mengemas identitas Polwan sebagai pelindung, perawat dan pengayom masyarakat yang nir-kekerasan. Sebagian Polwan, telah mebentuk diri sebagai feminis, sebagai individu yang memperjuangkan keadilan atas kekejaman yang menimpa kelompok lemah, terutama perempuan dan anak. Mereka adalah pelindung dan perawat kesmanan masyarakat (security) yang utuh.